Pro-kontra rumah walet di Areal Pekong Sekura.
Warga Tionghoa Teluk Keramat terpecah, Rumah walet di kawasan Pekong Fuk
Tet. (FOTO MR Mawardi/ Equator)TELUK KERAMAT. Umat Konghucu Desa
Sekura, Kecamatan Teluk Keramat, Kabupaten Sambas protes atas
dibangunnya rumah walet di kawasan Pekong Fuk Tet di daerah tersebut.
“Mereka menilai pembangunan penangkaran walet tidak sesuai pada
tempatnya. Karena Pekong merupakan tempat ibadah umat Konghucu, kenapa
harus dijadikan tempat ajang bisnis Penangkaran walet,” kata Tjhai Kim
Jung, tokoh masyarakat Tionghoa Kecamatan Teluk Keramat kepada Equator,
Jumat (14/05/2010).
Alasan penolakan pembangunan rumah walet karena lokasi yang dibangun
berada di atas tanah wakaf dan tempat beribadah Umat Konghucu. Lokasi
rumah walet berdampingan dengan Pekong. “Jelas saja kami tidak setuju.
Karena akan mengganggu pelaksanaan ibadah,” sesal Kim Jung sapaan
akrabnya.
Kim Jung memaparkan, rumah walet tersebut dibangun berdasarkan ide Chai
Nam Fo, ketua yayasan kepada seluruh pengurus Pekong dengan mengundang
sekitar 300 umat Konghucu. Namun yang hadir hanya 30 orang saja. Karena
tidak mencapai quorum, maka pembangunan rumah walet dibatalkan. Namun
penasihat Pekong, Tjhai Mui Nam yang juga ahli waris tanah wakaf
menyetujui pembangunan rumah walet di kawasan Pekong. Rumah walet itu
dibangun dan keuntungannya dibagi 30 persen untuk yayasan dan 70 persen
untuk pengusaha yang menanam saham. Dari hasil rapat, tujuan
pembangunan penangkaran walet untuk pemasukan Pekong. “Mereka melihat
peluang investasi membangun penangkaran walet di areal tanah wakaf
Pekong sangat menjanjikan. Lantaran di luar areal lahan Pekong sudah
berdiri beberapa rumah walet dengan hasil panen yang memuaskan.
Diperkirakan omzetnya pertahun mencapai Rp 1 miliar, ”jelas Kim Jung.
Melihat potensi usaha walet menjanjikan, maka sebagian pengurus yayasan
langsung menggalang dukungan. Setelah rapat, dari 14 pengurus yayasan,
lima orang yang tidak setuju, di antaranya, Pau Men Kiong, Su Fa Po,
Tjhai Fuk Liong, Kok Se Liang dan Bong Bui Chong. Setelah berdebat,
kelima pengurus itu sepakat mengundurkan diri dari yayasan. “Motif
mereka membangun sarang walet di atas tanah wakaf Pekong berorientasi
bisnis. Sementara Pekong merupakan tempat ibadah. Jika memang ingin
membangun penangkaran walet, seharusnya di lokasi lain, kenapa harus di
samping Pekong, ”ujar Kim Jung lagi.
Konflik tersebut akhirnya dilaporkan ke Polsek Teluk Keramat dan Kantor
Camat. Camat Teluk Keramat H Uray Heriansyah dan Kapolsek Teluk Keramat
AKP Agus Riyanto SH mengundang 10 masyarakat yang setuju dan 10
masyarakat yang tidak setuju dibangunnya rumah walet di areal Pekong.
Namun yang hadir pada undangan tersebut hampir 100 orang. Sementara yang
tidak setuju dibangun rumah walet tetap sepuluh orang.
Lantaran kalah suara, diputuskan pembangunan rumah walet tetap berjalan.
Bagi hasil keuntungan dibahas kemudian. “Padahal suara yang menyatakan
setuju tidak mewakili suara keseluruhan warga Tionghoa Desa Sekura.
Karena di luar masih banyak warga Tionghoa yang tetap menolak
pembangunan sarang walet di rumah ibadah, “kata Kim Jung.
Hal Senada dikatakan Sugianto, warga Tionghoa yang sering mendatangi
Pekong. Dia sangat tidak setuju jika di halaman kelenteng dibangun rumah
walet. Karena sudah jelas akan mengganggu proses ibadah dan yang pasti
lokasi Pekong menjadi kotor. “Karena Pekong rumah suci, mestinya tidak
boleh kotor, ”jelas dia.
Kapolsek Teluk Keramat AKP Agus Riyanto SH membenarkan adanya
pembangunan rumah walet di lokasi Pekong. Namun pihaknya sudah berupaya
menyelesaikan persoalan itu melalui jalur demokrasi dengan melakukan
footing. “Kita mengundang kedua belah pihak dan hasilnya 97 mendukung
dibangunnya rumah walet dan 67 tidak mendukung serta tiga orang abstain,
”kata Agus. Diharapkan kedua belah pihak dapat menjaga situasi aman
dan kondusif. Polsek akan berupaya menyelesaikan konflik tersebut
hingga tuntas. (eguator.news)